Rabu, 25 Juni 2014

Kehidupanku Bersama Lalai

Lalai merupakan kondisi di mana seseorang menunda-nunda kewajibannya, baik yang menyangkut dalam hal dunia maupun akhirat tanpa udzur yang jelas (syar’i). Lalai tersebut bisa dalam bentuk menjalankan aktifitas sehari-hari maupun dalam beribadah kepada Tuhannya. Lalai dengan sengaja sangat merugikan bagi kehidupan seseorang. Tidak hanya merugikan diri sendiri, namun juga bisa merugikan orang lain.

Di saat kelalaian dan kesesatan melanda umat manusia, Allah Subhaanahu wa Ta’ala selalu mengutus seseorang untuk memberi petunjuk kepada mereka supaya kembali ke jalan yang benar mematuhi segalan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir).” (QS. Al-Baqarah: 268).

Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam merupakan salah satu utusan-Nya. Yang di dalam hatinya selalu aktif untuk ikut andil dalam berdakwah dan melakukan perubahan kepada umatnya menuju kebaikan. Tidak henti-hentinya beliau berdakwah, walau hambatan dan rintangan selalu menghiasi hidupnya.

“Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu, karena mereka tidak beriman.” (QS. Asy-Syu’araa:3).

Bila diperhatikan, banyak diantara kita yang lebih mementingkan kehidupan duniawinya saja. Bekerja dari pagi hingga malam, bahkan tak jarang mungkin pula ada yang sampai pagi lagi. Sedangkan ibadah dilakukan seadanya saja. Ini merupakan salah satu tindak kelalaian yang melanda umat manusia. Begitu pula bila kehidupan hanya dihiasi dengan beribadah saja, tanpa memerhatikan keadaan sekitar, ini pun juga tidak benar.

Kita harus cerdas dalam membagi waktu. Agar semua ruang lingkup kehidupan dapat diakses dengan baik dan mudah. Kita bisa berpartisipasi menjalani aktifitas maupun berhubungan langsung dengan Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Lalai bisa terjadi bila diri malas dalam mengerjakan sesuatu sehingga setiap pekerjaan yang ada justru selalu menumpuk dan tidak kunjung selesai. Setiap manusia adalah pemimpin, maka dari itu, manusia yang baik adalah bermanfaat kepada sesama dan tidak melalaikan tugas. Bagaimana bisa menjadi seorang pemimpin berkualitas, bila di dalam dirinya masih tersimpan rasa malas dan lalai.

“Bersemangatlah dalam hal-hal yang akan memberikan kemanfaatan kepadamu! Mintalah pertolongan kepada Allah dan janganlah kamu menyerah. Jika kamu terkena satu musibah janganlah kamu berkata, ‘Jika tadi saya melakukan yang lain, maka akan terjadi hal yang lain pula.’ Akan tetapi, katakanlah,’Semua ini adalah kekuasaan Allah. Apa yang dia kehendaki, Dia kerjakan.’ Sesungguhnya kata ”jika/seandainya”, bisa menjadi pintu masuk setan (untuk menggoda kalian).”

Diantara bentuk ibadah atau ketaatan yang acap kali terlupakan dan tidak mendapat banyak perhatian adalah berpikir dan merenung. Allah Subhaanahu wa Ta’ala dalam menciptakan segala sesuatu tentu tidaklah sia-sia. Untuk itu, sebaiknya manusia mampu berpikir, siapa yang menciptakan, bagaimana ia diciptakan, untuk apa ia diciptakan, dan seterusnya. Berpikir tentang siapa yang menciptakan dan diri sendiri adalah hal yang utama.

“Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikanmu (susunan tubuh)-mu seimbang dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.” (QS: Al-Infithaar:6-8).

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang. Lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan ia makhluk yang (berbentuk lain). Maka Mahasucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS: Al-Mu’minuun:12-14).

Jika manusia dapat berpikir kepada hal-hal positif, misalkan tentang alam semesta yang sangat luas, berpikir tentang kematian dan alam akhirat, tentang Al-Qur’an, nilai dunia dan akhirat, nikmat yang telah diberikan Allah subhaanahu wa ta’ala, fenomena alam, kebesaran Allah Yang Maha Esa, hal positif lainnya, maka kelalaian, kesesatan maupun bentuk keburukan lain, bisa diminimalisir bahkan dihilangkan. Perkara ini memang bukanlah hal yang mudah untuk dikendalikan. Terlebih, bila sudah menjadi kebiasaan sehari-hari yang terus saja mengganggu. Tidak dapat dipungkiri, manusia yang memiliki sifat lalai, kurang memiliki kedisiplinan dalam hidup, kurang memahami hakikat tauhid dalam agama dan tidak terjalinnya keharmonisan dalam beribadah kepada Allah subhaanahu wa ta’ala.

Allah subhaanahu wa ta’ala merahasiakan masa depan setiap manusia, itu menandakan agar kita bisa berprasangka baik, merencanakan yang terbaik, berusaha yang terbaik, dan selalu bersyukur serta bersabar atas apa yang dilakukan dan diraihnya ke depan. Kelalaian dengan tidak melakukan hal yang bermanfaat, bisa mengikis semua impian tersebut. Kerja keras memang dibutuhkan agar bisa mewujudkan hakikat kehidupan yang lebih baik dan.

“Wahai manusia, sesungguhnya kalian mempunyai ilmu maka gunakanlah secara maksimal ilmu kalian itu. Dan sesungguhnya kalian mempunyai masa akhir, maka berjalanlah menuju akhir masa kalian. Sesungguhnya seorang mukmin berada dalam dua kekhawatiran: Apakah yang diputuskan oleh Allah atas (amal perbuatan yang dilakukan pada) masa yang telah lewat? Dan apakah yang akan ditetapkan oleh Allah kepadanya pada masa yang masih tersisa. Oleh karena itu, hendaknya seseorang mempersiapkan dirinya dengan berbagai bekal di dunia ini untuk kebaikannya di akhirat nanti. Hendaklah ia menyiapkan diri pada waktu mudanya sebelum datang masa tua dan di saat sedang sehat sebelum datang waktu sakit. Sesungguhnya kalian diciptakan adalah untuk kehidupan akhirat. Adapun dunia diciptakan untuk (keperluan) kalian. Demi Zat yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya, setelah kematian tidak ada (manfaatnya) orang yang mencela dan seteah kehidupan dunia tidak ada tempat bersinggah, melainkan surga dan neraka. Saya memohon ampun kepada Allah swt. semoga dosa-dosa kita diampuni-Nya.” (HR. al-Baihaqi dalam “Syu’abul-limaan,”Abu Nu’aim dalam “al-Hilyah dari al-Hasan al-Basri, dan ad-Dailamy dalam al-Firdaus).

Sangat disayangkan, bila ilmu yang kita miliki tidak digunakan dengan baik. Melainkan, diramu dengan kelalaian dan kemaksiatan dengan menghalalkan segala cara Dalam memanajamen waktu, memang tidak mudah, maka dari itu, keutamaan dalam menjalankan hal-hal positif, melalui dengan niat yang tulus ikhlas karena Allah subhaanahu wa ta’ala. Komitmen dalam memperbaiki diri merupakan cerminan akhlak yang baik bagi setiap orang. Untuk bisa menghindari sifat lalai seperti ini, tentulah kita harus teladani Nabi Muhammad shallallahu’alayhi wa salam beserta para sahabatnya. Bagaimana dalam aktifitas dan kehidupan sehari-harinya selalu digunakan untuk beribadah kepada Allah serta menjadi pribadi yang bermanfaat kepada sesame manusia, walau ujian dan cobaan terus menerpa.[]

Penulis: Reza Arghavin
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Forum Lingkar Pena Ciputat

0 komentar:

Posting Komentar

Anda Dapat Mengirimkan Komentar dan Pertanyaan Seputar Al-Qur'an. Seluruh Pertanyaan dan Jawaban akan ditampilkan pada Buletin Tuuba (تُوْبَي) Edisi Selanjutnya.